"Tau ga Win? Hampir setiap kali waktu aku lelah, kututup mataku dan berbisik dalam hatiku 'angin..' entah dari mana.. lalu.."
"Lalu beneran ada angin yang berhembus?" Winnie tertawa. "Kamu ini.. ntah terlalu imajinatif, atau keracunan gara2 kebanyakan nonton. Kan ada tuh, pelem korea, windstruck.. pasti kamu terinspirasi cowo itu deh."
Aku hanya tersenyum. Winnie memang sudah terbiasa dengan segala hal yang tidak masuk akal, yang ntah kenapa selalu mengikuti hidupku.
"Ya uda, kita buktikan sekarang. Gimana?" tantangku.
"Serius?"
"Definitely."
"Baiklah bocah angin.. hembuskanlah anginmu" Winnie menutup matanya.
Kutatap dia. Hanya saat matanya terkatup, saat matanya berpaling, aku bisa menatapnya dengan jujur.
'Tuhan.. anginMu..' bisikku dalam hati.
Sedetik. Dua detik. Lalu angin pun datang.
Angin yang lembut tapi pasti. Angin favoritku. Rambut Winnie mulai menari, dan juga bibirnya.. Senyumnya yang terlalu indah.
Beberapa menit berlalu. Dia hanya menutup mata dan tersenyum, aku hanya menatapnya dan tersenyum. Andai detik ini nafasku berhenti, dan momen ini kan abadi di ingatku.
"Terry.. angin ini.. seperti kamu." saat Winnie bersuara, suaranya bukan suara yang memecah kesunyian. Suara itu bahkan lebih pekat dari sunyi.
"Atau aku yang seperti angin ini."
"He eh. Kamu bisa buat angin ini ada selama kamu mau?"
"Aku bukan Tuhan, Win.."
"Kalo kamu? Kamu bisa janji untuk tetap ada selama aku mau?"
"Aku bukan Tuhan, Win.."
Winnie membuka matanya dan mengganguk pelan. "Aku ngerti Ter.. dan aku tau sebentar lagi kamu akan pergi dari ku kan.. seperti angin ini."
"Kok bisa mikir gitu?"
"Angin ini yang bilang."
"Dia bilang apa aja?"
"Dia bilang.. 'Winnie, kamu tau ga sih kalo Terry cape banget.. Dia cape dan ancur. Dia mau menghilang, tinggalin semua, termasuk kamu.'
"Kenapa aku mau menghilang dari kamu"
Winnie mengalihkan pandangnya. Menggigit pelan bibirnya. "Angin bilang..'karena Winnie bukan angin'."
Aku tertawa. "Jadi angin juga bisa boong?"
"Seperti kamu."
"Loh.. kapan aku boong sama kamu?"
"Setiap saat.. setiap kali Terry buat aku percaya kalo di mata dia aku ini teman baik dia. Setiap kali dia buat aku percaya dia uda ceritain semua tentang dia. Setiap kali dia buat aku percaya kalo dia itu ngga akan kemana-mana. Dan.. dan.."
"Dan setiap kali aku buat Winnie percaya kalo aku pengen ngeliat dia jadian sama Ronny. setiap kali aku buat Winnie percaya kao aku ga sayang dia"
"Kenapa Ter? Kenapa kamu harus kaya gitu?" Mata Winnie mulai lembab.
"Coz being honest won't make any difference." Aku tertawa.
"Tapi aku ngga mau jadi alasan kamu sedih. Aku mau jadi temen terbaik kamu yang bisa bikin kamu seneng."
"Kamu memang teman terbaik ku."
"Ter.. aku.. kita.. gimana kalo kita.." ucapan Winnie terhenti.
Aku menarik napas dalam2. "'Gimana kalo kita jadian', itu yang kamu mau bilang?"
Winnie hanya menunduk dan diam.
"Win.. aku ngga mau kamu jadi ceweku." ujarku mantap.
Winnie tersentak. "Maksud kamu?"
"Setahun lalu, ngga ada hal lain yang lebih aku pengen selaen jadian sama kamu. Tapi sekarang, ngga ada hal lain yang lebih aku takutin selaen jadian sama kamu."
"Kenapa Ter?"
"Karena aku sadar."
"Sadar kalo?"
"Kalo aku ini angin, angin yang akan segera lenyap"
"Ter, please.. kamu jangan buat aku makin bingung. aku.."
"Kamu masih ingat puisi favoritku?"
Perlahan Winnie berbisik "Kalau sudah tiba waktuku, kumau tak seorang kan merayu.."
"Tidak juga kau" bisikku.
"Ter.. "
"Waktu ku udah tiba Win."
"Aku ngga ngerti.. kenapa sih kamu omong ga jelas gini? Aku ga butuh segala ocehan aneh kamu sekarang Ter. Aku mau kamu yang jujur"
"I have nothing else to say."
Plakk!! Tangan yang selalu aku rindukan. Untuk kugenggam. Tangan yang sekarang menamparku untuk pertama kalinya. Sambil menangis Winnie berlari meninggalkan ku.
Pertemuan terakhir yang harusnya menjelaskan segalanya. Pertemuan terakhir yang malah meninggalkan lebih banyak tanda tanya buat Winnie. Dia ngga ngerti. Karena aku memang ngga mau dia ngerti. Aku cuma mau dia ingat aku.
Sendiri. Aku lelah.
'Tuhan.. untuk dia, aku masih mau hidup seribu tahun lagi..'
***
Aku masih berusaha mengerti. Tapi 'mengerti' bukan keahlianku. Itu keahlian dia. Tidak. Aku harus mengejar kamu. 'Mengejar bukan keahliannya, itu keahlianku.
"Ngga usa dikejer. Loe bakal punya banyak waktu buat itu."
Aku ngga pernah suka dia. Terutama sikapnya yang selalu seperti tidak pernah ada apa-apa. Senyumnya yang seakan tak berdosa. Dia melangkah gontai mendekatiku.
"Bukannya loe uda setuju buat kasi gua waktu berdua ama dia? Loe ga percaya gua? Ato dia? Ato.."
Kadang dia terlalu cerewet. Seluruh sadarku terbawa oleh sosokmu yang berlari pergi. Aku tidak memperhatikan dia yang sekonyong2...
Duakk!!
"Nah sekarang impas hahaha.." Dia tertawa puas.
Tak pelak tinjunya bersarang di pipiku. bau darah di rongga mulut seakan membangunkanku.
"Loe ga pernah lupa ya?"
"Lupa??! Hm... susah buat dilupain kalo loe baik hati selamatin orang yang loe ga terlalu suka karena dia jadian sama cewe yang lu suka, tau2 malah dikasi bogem mentah. Hahaha.. tapi gua bukan dendam kok."
"Cuma ga puas kalo ngga ngebales?" ringisku
"Bukan. Gua ga suka ngerasa berhutang ama orang, dan gua juga ga suka orang ngerasa berhutang sama gua. Loe tau kenapa waktu itu gua ga langsung bales?"
"Ngga.."
"Waktu itu.. gua pikir, mungkin satu hari gua bakal buat salah ama loe dan pantes dapetin itu."
"Buat salah?"
"Hahaha.. emank seh loe jauh lebih hebat dari gua dalam banyak hal. Tapi gua tetep percaya gua punya chance buat rebut dia dari elo."
"Hmpf.."
"Ngga percaya?"
"Gua emank ga suka elo, tapi gua akuin, gua percaya loe sanggup."
Dia tertawa lagi. "Yah.. tapi skarang.."
"Tapi skarang loe tau loe ga akan bisa buat salah lagi ama gua?"
"Ga mungkin bisa lagi."
"Jadi loe ngerasa perlu buat bersihin utang piutang."
"That's right."
"Loe tau kenapa gua mukul elo setaon lalu?" Tanyaku sambil menyalakan sebatang rokok. Aku bukan perokok berat tapi aku butuh rokok setiap kali hatiku galau.
"Karena loe merasa gua seharusnya marah. Loe ga mao terlihat seakan gua ngasih dia ke elo."
Kali ini mau ngga mau aku tertawa. "Kayanya loe emank bisa baca hati orang."
"Kadang doank."
"Tapi kenapa loe ga bisa baca hati Winnie?"
Terry menghela nafas panjang. "Loe tau kenapa gua ga pernah mao ngerokok Ron?"
"Anak baik2 kaya elo, ga aneh."
Terry tersenyum. "Gua ga pernah mao karena gua tau, kalo gua coba ngerokok, gua pasti bakal jadi perokok yang lebih parah dari elo. Dan mungkin ga bakal bisa berhenti."
"Loe belom jawab pertanyaan gua tadi."
"Loe tau kenapa gua ga mao coba ngertiin, coba buat sayang Winnie?"
Senyum itu masih ada, tapi sorot matanya.. sorot mata seekor serigala yang terluka.
"Karena kalo loe coba, loe bakal ga sanggup berhenti."
"He eh."
"Trus apa salahnya?"
"Gua bukan orang yang punya hak buat itu."
"Hak?" aku ngga pernah tau kalo ngga semua orang punya hak untuk mencintai.
Kali ini giliranku yang menghela nafas. "Ter.. gua ngga tau apa yang di otak loe, tapi Winnie.."
"tapi Winnie uda buat keputusan yang bener waktu dia milih elo."
Tak bisa lagi kutahan kesalku. "Trus kenapa tadi dia.. dia .. bisa bilang"
"Dia ngga selalu bilang apa yang ada di hati dia."
"Maksud loe dia tadi asal omong?!!"
"Bukan. Dia cuman suka ngga tau apa yang ada di hati dia sendiri. Hampir semua cewe kaya gitu. Hati mereka terlalu rumit bahkan buat mereka sendiri."
"Jadi apa yang di hati dia sebenernya?"
"Sebenernya dia sayang ama elo. Dia simpati ama gua"
Setelah melihat semua kejadian tadi, bagaimana mungkin aku bisa percaya? Terry tampaknya bisa membaca isi hatiku, lagi.
"Ga percaya? Okay.. menurut loe kenapa dia tampar gua tadi?"
"Gua rasa dia kesel sama elo yang belat belit gitu. Apalagi loe bilang mao ninggalin dia."
"Iya bener.. dia emank kesel tadi. Tapi itu ngga akan buat dia tampar gua."
"Lalu?"
"Dia tampar gua karena dia ngerasa benci ama diri sendiri. Dia sayang sama elo tapi gua buat dia sampe hampir khianatin elo. In truth, she will never leave you."
"Gua masih ngga ngerti"
"Karena loe bukan cewe"
"Loe juga bukan"
"Tapi gua bukan elo."
Aku masih hendak menjawab ketika Terry tiba2 beranjak dari bangkunya.
"Uda deh.. gua cape. Loe pokoknya percaya aja deh."
"Loe mao pergi?" tanyaku. ntah kenapa aku masih ingin dia ada disini. aku ngga pernah nyangka aku bisa ngobrol sepanjang ini sama dia.
"Yup.. jangan sampe Winnie tau loe ada disini tadi yah."
"Kenapa?"
"Haeh.. percaya deh ama gua. Demi kebaekan loe pokoknya."
"Loe ga bakal balik lagi?"
"Mungkin."
Perlahan sosok itu melangkah menjauh. Aku masih terduduk. Aku belum mengerti semua ini. Tapi aku ngga mau coba mengerti lagi. Itu bukan keahlianku.
Kuputuskan untuk mengejar kamu. Aku ngga akan biarkan kamu hilang dari hidupku.
"Lalu beneran ada angin yang berhembus?" Winnie tertawa. "Kamu ini.. ntah terlalu imajinatif, atau keracunan gara2 kebanyakan nonton. Kan ada tuh, pelem korea, windstruck.. pasti kamu terinspirasi cowo itu deh."
Aku hanya tersenyum. Winnie memang sudah terbiasa dengan segala hal yang tidak masuk akal, yang ntah kenapa selalu mengikuti hidupku.
"Ya uda, kita buktikan sekarang. Gimana?" tantangku.
"Serius?"
"Definitely."
"Baiklah bocah angin.. hembuskanlah anginmu" Winnie menutup matanya.
Kutatap dia. Hanya saat matanya terkatup, saat matanya berpaling, aku bisa menatapnya dengan jujur.
'Tuhan.. anginMu..' bisikku dalam hati.
Sedetik. Dua detik. Lalu angin pun datang.
Angin yang lembut tapi pasti. Angin favoritku. Rambut Winnie mulai menari, dan juga bibirnya.. Senyumnya yang terlalu indah.
Beberapa menit berlalu. Dia hanya menutup mata dan tersenyum, aku hanya menatapnya dan tersenyum. Andai detik ini nafasku berhenti, dan momen ini kan abadi di ingatku.
"Terry.. angin ini.. seperti kamu." saat Winnie bersuara, suaranya bukan suara yang memecah kesunyian. Suara itu bahkan lebih pekat dari sunyi.
"Atau aku yang seperti angin ini."
"He eh. Kamu bisa buat angin ini ada selama kamu mau?"
"Aku bukan Tuhan, Win.."
"Kalo kamu? Kamu bisa janji untuk tetap ada selama aku mau?"
"Aku bukan Tuhan, Win.."
Winnie membuka matanya dan mengganguk pelan. "Aku ngerti Ter.. dan aku tau sebentar lagi kamu akan pergi dari ku kan.. seperti angin ini."
"Kok bisa mikir gitu?"
"Angin ini yang bilang."
"Dia bilang apa aja?"
"Dia bilang.. 'Winnie, kamu tau ga sih kalo Terry cape banget.. Dia cape dan ancur. Dia mau menghilang, tinggalin semua, termasuk kamu.'
"Kenapa aku mau menghilang dari kamu"
Winnie mengalihkan pandangnya. Menggigit pelan bibirnya. "Angin bilang..'karena Winnie bukan angin'."
Aku tertawa. "Jadi angin juga bisa boong?"
"Seperti kamu."
"Loh.. kapan aku boong sama kamu?"
"Setiap saat.. setiap kali Terry buat aku percaya kalo di mata dia aku ini teman baik dia. Setiap kali dia buat aku percaya dia uda ceritain semua tentang dia. Setiap kali dia buat aku percaya kalo dia itu ngga akan kemana-mana. Dan.. dan.."
"Dan setiap kali aku buat Winnie percaya kalo aku pengen ngeliat dia jadian sama Ronny. setiap kali aku buat Winnie percaya kao aku ga sayang dia"
"Kenapa Ter? Kenapa kamu harus kaya gitu?" Mata Winnie mulai lembab.
"Coz being honest won't make any difference." Aku tertawa.
"Tapi aku ngga mau jadi alasan kamu sedih. Aku mau jadi temen terbaik kamu yang bisa bikin kamu seneng."
"Kamu memang teman terbaik ku."
"Ter.. aku.. kita.. gimana kalo kita.." ucapan Winnie terhenti.
Aku menarik napas dalam2. "'Gimana kalo kita jadian', itu yang kamu mau bilang?"
Winnie hanya menunduk dan diam.
"Win.. aku ngga mau kamu jadi ceweku." ujarku mantap.
Winnie tersentak. "Maksud kamu?"
"Setahun lalu, ngga ada hal lain yang lebih aku pengen selaen jadian sama kamu. Tapi sekarang, ngga ada hal lain yang lebih aku takutin selaen jadian sama kamu."
"Kenapa Ter?"
"Karena aku sadar."
"Sadar kalo?"
"Kalo aku ini angin, angin yang akan segera lenyap"
"Ter, please.. kamu jangan buat aku makin bingung. aku.."
"Kamu masih ingat puisi favoritku?"
Perlahan Winnie berbisik "Kalau sudah tiba waktuku, kumau tak seorang kan merayu.."
"Tidak juga kau" bisikku.
"Ter.. "
"Waktu ku udah tiba Win."
"Aku ngga ngerti.. kenapa sih kamu omong ga jelas gini? Aku ga butuh segala ocehan aneh kamu sekarang Ter. Aku mau kamu yang jujur"
"I have nothing else to say."
Plakk!! Tangan yang selalu aku rindukan. Untuk kugenggam. Tangan yang sekarang menamparku untuk pertama kalinya. Sambil menangis Winnie berlari meninggalkan ku.
Pertemuan terakhir yang harusnya menjelaskan segalanya. Pertemuan terakhir yang malah meninggalkan lebih banyak tanda tanya buat Winnie. Dia ngga ngerti. Karena aku memang ngga mau dia ngerti. Aku cuma mau dia ingat aku.
Sendiri. Aku lelah.
'Tuhan.. untuk dia, aku masih mau hidup seribu tahun lagi..'
***
Aku masih berusaha mengerti. Tapi 'mengerti' bukan keahlianku. Itu keahlian dia. Tidak. Aku harus mengejar kamu. 'Mengejar bukan keahliannya, itu keahlianku.
"Ngga usa dikejer. Loe bakal punya banyak waktu buat itu."
Aku ngga pernah suka dia. Terutama sikapnya yang selalu seperti tidak pernah ada apa-apa. Senyumnya yang seakan tak berdosa. Dia melangkah gontai mendekatiku.
"Bukannya loe uda setuju buat kasi gua waktu berdua ama dia? Loe ga percaya gua? Ato dia? Ato.."
Kadang dia terlalu cerewet. Seluruh sadarku terbawa oleh sosokmu yang berlari pergi. Aku tidak memperhatikan dia yang sekonyong2...
Duakk!!
"Nah sekarang impas hahaha.." Dia tertawa puas.
Tak pelak tinjunya bersarang di pipiku. bau darah di rongga mulut seakan membangunkanku.
"Loe ga pernah lupa ya?"
"Lupa??! Hm... susah buat dilupain kalo loe baik hati selamatin orang yang loe ga terlalu suka karena dia jadian sama cewe yang lu suka, tau2 malah dikasi bogem mentah. Hahaha.. tapi gua bukan dendam kok."
"Cuma ga puas kalo ngga ngebales?" ringisku
"Bukan. Gua ga suka ngerasa berhutang ama orang, dan gua juga ga suka orang ngerasa berhutang sama gua. Loe tau kenapa waktu itu gua ga langsung bales?"
"Ngga.."
"Waktu itu.. gua pikir, mungkin satu hari gua bakal buat salah ama loe dan pantes dapetin itu."
"Buat salah?"
"Hahaha.. emank seh loe jauh lebih hebat dari gua dalam banyak hal. Tapi gua tetep percaya gua punya chance buat rebut dia dari elo."
"Hmpf.."
"Ngga percaya?"
"Gua emank ga suka elo, tapi gua akuin, gua percaya loe sanggup."
Dia tertawa lagi. "Yah.. tapi skarang.."
"Tapi skarang loe tau loe ga akan bisa buat salah lagi ama gua?"
"Ga mungkin bisa lagi."
"Jadi loe ngerasa perlu buat bersihin utang piutang."
"That's right."
"Loe tau kenapa gua mukul elo setaon lalu?" Tanyaku sambil menyalakan sebatang rokok. Aku bukan perokok berat tapi aku butuh rokok setiap kali hatiku galau.
"Karena loe merasa gua seharusnya marah. Loe ga mao terlihat seakan gua ngasih dia ke elo."
Kali ini mau ngga mau aku tertawa. "Kayanya loe emank bisa baca hati orang."
"Kadang doank."
"Tapi kenapa loe ga bisa baca hati Winnie?"
Terry menghela nafas panjang. "Loe tau kenapa gua ga pernah mao ngerokok Ron?"
"Anak baik2 kaya elo, ga aneh."
Terry tersenyum. "Gua ga pernah mao karena gua tau, kalo gua coba ngerokok, gua pasti bakal jadi perokok yang lebih parah dari elo. Dan mungkin ga bakal bisa berhenti."
"Loe belom jawab pertanyaan gua tadi."
"Loe tau kenapa gua ga mao coba ngertiin, coba buat sayang Winnie?"
Senyum itu masih ada, tapi sorot matanya.. sorot mata seekor serigala yang terluka.
"Karena kalo loe coba, loe bakal ga sanggup berhenti."
"He eh."
"Trus apa salahnya?"
"Gua bukan orang yang punya hak buat itu."
"Hak?" aku ngga pernah tau kalo ngga semua orang punya hak untuk mencintai.
Kali ini giliranku yang menghela nafas. "Ter.. gua ngga tau apa yang di otak loe, tapi Winnie.."
"tapi Winnie uda buat keputusan yang bener waktu dia milih elo."
Tak bisa lagi kutahan kesalku. "Trus kenapa tadi dia.. dia .. bisa bilang"
"Dia ngga selalu bilang apa yang ada di hati dia."
"Maksud loe dia tadi asal omong?!!"
"Bukan. Dia cuman suka ngga tau apa yang ada di hati dia sendiri. Hampir semua cewe kaya gitu. Hati mereka terlalu rumit bahkan buat mereka sendiri."
"Jadi apa yang di hati dia sebenernya?"
"Sebenernya dia sayang ama elo. Dia simpati ama gua"
Setelah melihat semua kejadian tadi, bagaimana mungkin aku bisa percaya? Terry tampaknya bisa membaca isi hatiku, lagi.
"Ga percaya? Okay.. menurut loe kenapa dia tampar gua tadi?"
"Gua rasa dia kesel sama elo yang belat belit gitu. Apalagi loe bilang mao ninggalin dia."
"Iya bener.. dia emank kesel tadi. Tapi itu ngga akan buat dia tampar gua."
"Lalu?"
"Dia tampar gua karena dia ngerasa benci ama diri sendiri. Dia sayang sama elo tapi gua buat dia sampe hampir khianatin elo. In truth, she will never leave you."
"Gua masih ngga ngerti"
"Karena loe bukan cewe"
"Loe juga bukan"
"Tapi gua bukan elo."
Aku masih hendak menjawab ketika Terry tiba2 beranjak dari bangkunya.
"Uda deh.. gua cape. Loe pokoknya percaya aja deh."
"Loe mao pergi?" tanyaku. ntah kenapa aku masih ingin dia ada disini. aku ngga pernah nyangka aku bisa ngobrol sepanjang ini sama dia.
"Yup.. jangan sampe Winnie tau loe ada disini tadi yah."
"Kenapa?"
"Haeh.. percaya deh ama gua. Demi kebaekan loe pokoknya."
"Loe ga bakal balik lagi?"
"Mungkin."
Perlahan sosok itu melangkah menjauh. Aku masih terduduk. Aku belum mengerti semua ini. Tapi aku ngga mau coba mengerti lagi. Itu bukan keahlianku.
Kuputuskan untuk mengejar kamu. Aku ngga akan biarkan kamu hilang dari hidupku.
Comments